Hukumnya Onani (Masturbatio)
Kadang-kadang darah pemuda bergelora, kemudian dia
menggunakan tangannya untuk mengeluarkan mani supaya alat
kelaminnya itu menjadi tenang dan darahnya yang bergelora
itu menurun. Cara semacam ini sekarang dikenal dengan nama
onani (bahasa Arabnya: istimta' atau adatus sirriyah).
Kebanyakan para ulama mengharamkan perbuatan tersebut, di
antaranya Imam Malik. Beliau memakai dalil ayat yang
berbunyi:
"Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap isterinya atau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela. Tetapi barangsiapa mau selain yang demikian itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati batas." (Al-Mu'minun: 5-7)
Sedang orang yang onani adalah melepaskan syahwatnya itu
bukan pada tempatnya.
Sedang Ahmad bin Hanbal berpendapat, bahwa mani adalah
barang kelebihan. Oleh karena itu boleh dikeluarkan, seperti
memotong daging lebih.
Pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Hazm. Tetapi ulama-ulama
Hanafiah memberikan Batas kebolehannya itu dalam dua
perkara:
- Karena takut berbuat zina.
- Karena tidak mampu kawin.
Pendapat Imam Ahmad ini memungkinkan untuk kita ambil
dalam keadaan gharizah itu memuncak dan dikawatirkan akan
jatuh ke dalam haram. Misalnya seorang pemuda yang sedang
belajar atau bekerja di tempat lain yang jauh dari
negerinya, sedang pengaruh-pengaruh di hadapannya terlalu
kuat dan dia kawatir akan berbuat zina. Karena itu dia tidak
berdosa menggunakan cara ini (onani) untuk meredakan
bergeloranya gharizah tersebut dan supaya dia tidak berlaku
congkak dan gharizahnya itu tidak menjadi ulat.
Tetapi yang lebih baik dari itu semua, ialah seperti apa
yang diterangkan oleh Rasulullah s.a.w. terhadap pemuda yang
tidak mampu kawin, yaitu kiranya dia mau memperbanyak puasa,
dimana puasa itu dapat mendidik beribadah, mengajar bersabar
dan menguatkan kedekatan untuk bertaqwa dan keyakinan
terhadap penyelidikan (muraqabah) Allah kepada setiap jiwa
seorang mu'min. Untuk itu Rasuluilah s.a.w. bersabda sebagai
berikut:
"Hai para pemuda! Barangsiapa di antara kamu sudah ada
kemampuan, maka kawinlah sebab dia itu dapat menundukkan
pandangan dan memelihara kemaluan; tetapi barangsiapa tidak
mampu, maka hendaknya ia berpuasa, sebab puasa itu baginya
merupakan pelindung." (Riwayat Bukhari).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar